06 Januari 2009

Valentine Dilarang Di Bukittinggi

Menjelang tanggal 14 februari 2009, Walikota Bukittinggi Drs. H. Djufri mengeluarkan larangan perayaan Valentine di tempat-tempat umum seperti hotel, restoran, dll. Alasannya, tradisi Valentine adalah budaya Barat, tidak sesuai dengan budaya Timur. Hmmm....masih ada ya, walikota yang konyol begini.


Pro kontra soal perayaan Valentine adalah wajar atau sah-sah saja. Ada yang mempertentangkan antara budaya Timur dengan Barat, di sisi lain ada yang tidak mempermasalahkannya. Namun di sini persoalannya apakah perlu pemerintah membuat larangan budaya?


Kota Bukittinggi sudah mencanangkan dirinya sebagai kota wisata, namun cara berpikir Bapak Walikota Djufri masih seperti jaman kerajaan, di mana raja bisa mengatur-atur perilaku rakyat.


Valentine bagi yang kontra, berargumen adalah budaya Barat. Sampai di sini memang benar, kita semua tahu sejarah dari Valentine. Awalnya adalah nama seorang kudus dalam tradisi Katolik. Namun perayaan hari kasih sayang ini bukan diinisiasi oleh Gereja Katolik, tapi oleh masyarakat Amerika Serikat, yang lebih kuat aroma kapitalisasi.


Kasus yang sama adalah kapitalisasi tokoh Che Guevara. Tokoh ini adalah aktivis komunis Kuba yang sangat anti Amerika. Setelah tokoh ini mati tertembak di Bolivia, sekian tahun kemudian kaos-kaos bergambar Che sangat laris di Amerika. Bukan karena pemuda Amerika itu komunis semua, tapi lebih karena kecanggihan media iklan membangun citra perlawanan yang cocok untuk darah muda, tanpa mesti menjadi komunis.


Kesalahpahaman sebagian masyarakat kita adalah membayangkan perayaan Valentine identik dengan pesta mabuk-mabukan dan seks bebas. Padahal secara umum tidak demikian faktanya. Kebanyakan remaja Indonesia merayakan Valentine dengan tukar kado, makan coklat, beri bunga, makan malam. Dan tidak hanya antar pasangan kekasih saja, sebagian orang mengungkapkan hari kasih sayang ini kepada orang tua, anak, saudara, sahabat, handai taulan, dll.


Buat yang tidak setuju perayaan Valentine, silakan saja. Mau bikin budaya tandingan boleh saja. Malah bagus. Makin beragam dunia ini. Buat yang setuju Valentine, mari merayakan dengan memperluas arti cinta, tidak hanya pada pasangan, tapi juga pada orang-orang di sekitar kita yang berkekurangan maupun cinta pada lingkungan/alam.


Lalu apa peran pemerintah daerah? Pemerintah sebaiknya bukan menjadi regulator yang ‘cerewet' mengatur ini, melarang itu dalam hal kebudayaan. Biarkan saja dinamika budaya di masyarakat. Mau Barat, suka yang Timur, pilih Utara apalagi Selatan, biarlah setiap orang memilih. Toh, ketika walikota Bukittinggi Djufri mengadakan komferensi pers juga mengenakan jas - yang nota bene berasal dari Barat.


Bila hendak menghindari ekses negatif dari Valentine, justru biarkan saja hotel, restoran, event organizer menyelenggarakan perayaan tersebut. Pemerintah cukup beri rambu-rambunya saja. Dengan adanya pelarangan perayaan Valentine di Bukittinggi, justru mendorong remaja untuk melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Memang kasat mata tidak ada perayaan Valentine, tapi siapa yang bisa jamin apa yang terjadi di rumah? Apalagi kaum remaja yang rasa ingin tahunya besar dan gejolak darah muda masih menggemuruh.


Saranku justru sebaiknya pemerintah kota Bukittinggi atau kota-kota lain, mendorong agar hotel-hotel, restoran, event organizer, menyelenggarakan perayaan Valentine yang sehat, positif. Misalnya perayaan kasih sayang orang tua - anak, lomba kreatif merangkai bunga, lomba membuat puisi cinta, dll. Bukan dengan melarang ini itu, yang sudah pasti tidak akan efektif.

Tidak ada komentar: